A Free Soul
'Mah, kalau.. Teteh ngelamar jadi dosen di *nyebut satu kota* kira-kira gimana?' Seloroh saya di sela aktivitas dapur. Jemari mamah yang sedari tadi lincah mengiris bawang, terhenti sesaat, ‘*******? Itu dimana? Bukannya jauh ya dari Bandung?’ Ada nada kesedihan terselip di balik tanyanya. Intonasi yang sama karena pertanyaan serupa yang saya lontarkan empat tahun silam. ‘Hmm.. Jauh dari Bandung, sih.. Tapi ya.. nggak sejauh Turki.’ Balas saya santai, yang dijawab mamah dengan keheningan. Selain desis irisan bawang dan goresan pisau yang saling bersahutan, tidak ada lagi sisa obrolan. P ercakapan kami berakhir tanpa kesimpulan sore itu. Kebisuan yang bagi saya berarti lebih dari sekedar jawaban panjang. Mamah tidak setuju. Dan saya tidak cukup tega mengulangi tragedi jebakan batman empat tahun lalu dengan perempuan baya yang semakin memutih saja rambutnya ini. “Mah, Teteh mau lanjut kuliah S2, boleh?” “Bukannya nggak boleh.