A Free Soul
'Mah, kalau.. Teteh ngelamar jadi dosen di *nyebut satu kota* kira-kira gimana?' Seloroh saya di sela aktivitas dapur. Jemari mamah yang sedari tadi lincah mengiris bawang, terhenti sesaat,
‘*******? Itu dimana? Bukannya jauh ya dari Bandung?’ Ada
nada kesedihan terselip di balik tanyanya. Intonasi yang sama karena pertanyaan
serupa yang saya lontarkan empat tahun silam.
‘Hmm.. Jauh dari Bandung, sih.. Tapi ya.. nggak sejauh Turki.’ Balas
saya santai, yang dijawab mamah dengan keheningan. Selain desis irisan bawang
dan goresan pisau yang saling bersahutan, tidak ada lagi sisa obrolan.
Percakapan kami berakhir tanpa kesimpulan sore itu. Kebisuan yang bagi saya berarti lebih dari sekedar jawaban panjang. Mamah tidak setuju. Dan saya tidak cukup tega mengulangi tragedi jebakan batman empat tahun lalu dengan perempuan baya yang semakin memutih saja rambutnya ini.
“Mah,
Teteh mau lanjut kuliah S2, boleh?”
“Bukannya nggak boleh. Tapi S2
kan mahal, Teh..”
“Tenang.. Mamah nggak usah
bayar. Teteh dapat beasiswa, Alhamdulillah. InshaAllah dua minggu lagi mulai
kuliah.”
“O kitu? Alhamdulillah atuh..
Kuliah dimana?”
“Mmh.. tapi bukan di
IPB lagi. Yang ini 'agak jauh'.”
“Agak jauh? Memang di mana?”
“Turki.”
".........."
".........."
Erna selamanya adalah Erna. Pemberani yang mandiri, sekaligus keras kepala. Tapi, kamu yang sekarang, bukanlah dirimu yang dulu, Er. Bukan lagi petasan yang meledak sesukanya tanpa arah. Bukan buntelan karung ego yang tak bertuan.
Jangan berharap untuk menjadi jiwa yang bebas, lirih
suara hati. Berharaplah menjadi jiwa yang tenang. Yaa ayyatuhannafsul
mutamainnah!
To be a free soul, menjadi jiwa yang bebas, itu sulit
ternyata. Tidak mudah. Dan dalam kamus hidup saya, barangkali lebih dekat
kepada kemustahilan. Impossible.
Kenapa tidak mungkin?
Karena seluas-luasnya definisi merdeka yang ada di dunia, kebebasan
kita tetap terbatasi oleh hak orang lain, bukan?
Karena kita hidup berdampingan dengan makhluk lain. Dengan manusia-manusia
lain yang sama punya akal dan penuh dengan ragam tuntutan. Dan dalam lingkup
terkecil, ‘manusia-manusia lain’ itu merujuk pada orangtua kita; ayah dan ibu
kita.
Di luar sana, boleh saja kita menjadi pribadi yang kuat,
sosok yang tegar, figur mandiri nan hebat yang diidamkan. Tetapi di rumah, nilai
kemandirianmu tidak ada seujung kuku, tanpa ketaatan. Surgamu, terletak pada besarnya bakti dan kepatuhanmu. Dan bila
ada, dua kondisi yang menyebabkan luluhnya predikat ‘mandiri’ seorang perempuan, maka ia adalah
1.
Mandiri-nya seorang anak dibawah
restu ibunya, atau
2.
Mandiri-nya seorang istri ke
atas ridho suaminya.
Dan untuk saat ini, untukmu kupilih yang pertama, Ibu. Berat
memang, tapi semoga Allah ridho. Jiwaku mungkin tak bebas, tetapi semoga
pilihan ini lebih mendekatkan pada ketenteraman. Bukankah berkah Allah
senantiasa dekat dengan doa-doamu, Bu?
**
Selasa, 28 Februari. Hari terakhir di penghujung bulan di dua tahun menjelang kabisat. Tujuh puluh enam hari terbilang menuju Ramadhan.
Dari jiwa yang (sok) tenang,
Pengamat Kehidupan_
Selasa, 28 Februari. Hari terakhir di penghujung bulan di dua tahun menjelang kabisat. Tujuh puluh enam hari terbilang menuju Ramadhan.
Dari jiwa yang (sok) tenang,
Pengamat Kehidupan_
Comments