SUDUT PANDANG


"Demi menjaga kekhusuan shalat mohon matikan handphone atau silent. Isi terlebih dahulu shaf paling depan, bagi yang tidak bisa berdiri sudah disediakan kursi di bagian paling belakang. Lurus dan rapatkan shaf nya",
Himbau sang imam jelang shalat dimulai. 

Sementara takbir berkumandang, shaf akhwat masih saja berdebat tentang apakah kami harus berdiri di baris pertama atau kedua yang sudah lebih penuh jamaahnya. 'Bu, maju sini Bu masih kosong.'

'Mundur aja Bu, ini lebih banyak.' 

Tak ada kata sepakat. Teriak pun percuma hanya menegang urat. Maka sisa shaf bolong-bolong adalah yang pemandangan lumrah harian yang kerap kami lihat. 

Di awal-awal kedatangan dulu, saya termasuk salah seorang yang rajin cuap-cuap gemas sama jamaah yang nggak mau merapat, dan lebih milih shalat bertaburan bebas bak coklat dalam cookies.
Tau kan buibu kalau shalat bagaimana? 

Hari berganti pekan, pekan menjelma bulan. Tidak ada perubahan, kecuali saya merasa makin capek karena teriak-teriak tak karuan.

Hari-hari ini ritual cuap teriak saya renungi. Selama ini ngapain saya capek-capek? 
"Lurus dan rapatkan shaf, barisan yang kosong diisi". Itu himbauan imam sebetulnya untuk siapa? Orang lain atau saya?
Sepertinya lebih untuk diri saya. Bukan yang lain.

Sekarang saya nggak pernah ambil pusing. Dia imam, dan saya makmum. Tugas makmum adalah mendengarkan imam. Bukan neriakin ibu-ibu untuk masuk dalam barisan. Perintahnya jelas dan lugas. Rapatkan shaf, isi barisan yang kosong. Buat siapa instruksi itu? Buat saya, buat kamu, buat kita, yang merasa dan mengakui imam sebagai pemimpin shalatnya.

Jadi sekarang begitu komando turun, saya hanya mencari bagian shaf mana yang masih bolong untuk kemudian menambalnya. Dan tugas saya selesai. Shalat saya tenang. Karena kewajiban pada titah imam sudah saya tunaikan. Masalah sebelah saya kosong atau kurang rapat dll, udah nggak jadi pikiran karena saya sudah mengusahakan apa yang saya bisa.

Kita akan dihisab atas amal kita, bukan amal orang lain. Jadi jangan sibuk ngurusi amal orang  sementara amal sendiri keteteran.

------

Dulu, saya kalau shalat jamaah di masjid bawaannya suka gondok sendiri. Kenapa? Karena merasa terbebani untuk mengingatkan orang lain merapatkan barisan. Dan ketika himbauannya nggak didengar dan shafnya berantakan, otomatis shalatnya jadi nggak karuan. Khusyu enggak, kesel iya. Nasib pahala? Allahu alam.

Kecewa karena kita menuntut orang lain untuk berubah itu, sangat melelahkan. Lebih baik kita yang ganti sudut pandang. Mari kita biasa tanamkan bahwa setiap instruksi, setiap arahan, setiap himbauan, setiap pesan kebaikan yang kita dengar, tidak ditujukan selain kepada diri kita sendiri. Kepada saya. Bukan orang lain. Yang dituntut berubah dulu adalah saya, bukan orang lain.

Sekarang mah.. udah lah. Himbau aja sewajarnya. Daripada teriak-teriak malah jadi dosa kan? Lakukan apa yang jadi tugasmu, sisanya Allah yang uruskan.



Comments

Popular posts from this blog

Hati-hati dengan (kriteria) Pria Turki !

Perempuan Indonesia di Mata Laki-laki Turki

MashaAllah ala Turki vs Indonesia

Belajar Memahami Kamu

Lelaki Turki