Sopan Dikit Ngapa..?!



Hello world !πŸ˜ƒ

Anyone missed me? ✋ #katakanYESatausayanggakjadinulis
πŸ˜‘
*sok penting
*sok ngancem
*padahal bahan ketikan segudang

Anyway. Sebelum nulis panjang tinggi, izinkan saya curhat sedikit: 'kok bisa ya tiap masuk ke blog ini saya selalu merasa hilang arah? 😢

Tapi kemudian amazed sendiri, dan berakhir pada pertanyaan retoris unfaedah

"Ini beneran kamu yang nulis, Er? Kapan? Pernah gitu? Kok kocak sih? Bisa-bisanya pilih diksi begitu? Apa jangan-jangan blog kamu dibajak?"

Begitulah, makin ditanya makin tak terjawab. Disitu kadang saya merasa bahwa pepatah 'malu bertanya sesat di jalan' tidak selalu benar dan relevan. Di sini, di lapak ini, makin banyak bertanya semakin tersesat anda (re: saya).

---

Soekarno-Hatta, pukul enam belas lewat sekian.

Deretan kursi empat dari formasi 6-4, di bagian tengah menjelang akhir, tepat dekat kaca jendela terbuka, saya memilih tempat duduk sore itu. Angkot yang saya tumpangi masih lengang--satu orang dewasa masing-masing di sudut formasi 6 dengan seorang pelajar SD diantaranya, duduk tepat menghadap pintu keluar.

Lelah karena aktivitas seharian, membuat saya terlelap hingga tidak sadar bahwa dalam selang mungkin lima menit, angkot sudah terisi cukup penuh, menyisakan jatah satu penumpang di deretan kami.

Adalah kebiasaan saya (entah anda begitu juga atau tidak) kalau duduk di angkot, memiringkan badan ke arah depan karena jika duduk tegak lurus menghadap sebrang itu rasanya pusing dan… saya kira hanya angkoters yang tahu; yang penasaran tanya tetangganya ya, atau sekali-kali coba naik angkot agak jauh biar tahu πŸ˜‚. 

Di menit ke sekian, penumpang terakhir naik. Perempuan berjaket, rambut pendek sepundak, mengenakan masker, menenteng helm berwarna putih. Perawakannya cukup mini, sebelas empat belas lah dengan saya.

"Ser digeser sedikit Neng.. palih kiri masih kosong." 

Demi mendengar titah juragan, saya bergeser sedikit ke belakang, memastikan penumpang baru ini dapat tempat. Saya bahkan membantu memegang tangannya karena kakinya nyaris tersandung. Mengangguk ringan untuk mempersilahkan duduk. Setelah selesai, saya coba memposisikan diri seperti semula** ( the underlined world refers to.. tahu kan maksudnya posisi gimana?)

Sepuluh detik pertama, saya rasa dunia aman-aman saja. Saya duduk nyaman walau empet-empetan, ibu.. eh mba.. eh doi aja deh, doi yang barusan naik juga sama. Sampai tiba-tiba ini emak gusar nggak karuan. Well, saya liat ternyata tempat duduknya kesempitan dari belakang. Kok bisa? Karena tas ranselnya doi masih nemplok (atau sengaja ditemplokin saya nggak tahu) di punggung. Matanya menatap liar kesana kemari dan naasnya, mata itu berakhir dengan mata saya, menatap galak. Ya saya bingung dong. 
Ditelitinya posisi kaki saya (yang agak serong depan), porsi duduk badan saya, dan kembali lagi ke mata saya, kali ini lebih galak. Asli, di situ saya merasa.. ini mungkin ya yang dimaksud orang-orang 'ditelanjangin' luar dalam. 

Saya pakai masker, doi juga (masker tisu). Alhasil komunikasi mata yang bicara. 

Ni orang kenapa sih? Saya balik mengamati posisi duduknya. Ya kalau merasa sempit, benerin posisi duduknya lah. Simpen tasnya di depan, peluk, jangan digendong-gendong. Jangan asal main nunjuk hidung orang. 

'Kenapa?' tanya saya lewat isyarat alis naik. Kali ini, bola matanya bergerak cepat naik turun. Makin merah. Firasat saya nggak enak nih. Dan benar saja--

JEBREDDD !!!

kaca jendela tepat di samping kiri pipi saya, dibantingnya kuat-kuat. Deb! hembusan angin tercekik seolah mengolok-olok kenaifan saya sore itu.


Speechless.


Clueless.

Seisi angkot telah memandangi kami bergantian sebelum saya menyadari; what the **** is happening in here???

Itu gimana kalau tadi hidung saya rada nempel satu senti lagiii aja, kepala pasti kena kaca! Orang doi nutupnya sambil nggak liat kok.

Merasa pengap dan panas, dan doi juga nutup jendela seenaknya tanpa adab, saya pun merasa tak perlu meminta izinnya untuk membuka kaca lagi. Maka saya geserlah itu jendela. Sedikit, dengan dorongan sewajarnya. Tahu apa yang terjadi kemudian?

Mata itu kembali menangkap saya, merah menyala-nyala. Saya mengernyitkan alis, agak kesal, kali ini memutuskan angkat suara. "Kenapa Mba? Masuk angin?" Entah saya terlalu polos atau tidak peka, tapi hanya kalimat itu yang berputar-putar di otak. Orang nggak mau buka jendela biasanya karena dia lagi nggak enak badan. Atau memang nggak suka angin aja. Otak saya tidak cukup kreatif untuk menemukan alasan lain diluar itu.

Saya masih menunggu respon jawaban dan menimang-nimang apakah pertanyaan barusan kasar dan terkesan menantang, ketika kalimat tidak menyenangkan itu meluncur dengan songongnya.

Kena kepala, g*blok!!  
.
.
.

Kepala? 

Goblok??

Saya???

Bingung, saya tatap kaca jendela dan mata merah itu bergantian. Nggak salah tapi merasa bersalah.

"Kena ya? Maaf saya nggak ngeh.." Cuitan yang baginya tidak berguna sama sekali.

Ditariknya kuat-kuat tas gendong yang sedari tadi dia pakai, dipalingkannya muka untuk kemudian membalik badan dan menggesernya ke dekat pintu. Menyisakan saya yang lagi-lagi melongo kebingungan dengan situasi.

Pengap, panas, kesel, marah, pengen nangis tapi malu, campur aduk jadi satu.

Astagfirullahaladziim..  laa tagdhob.. laa tagdhob..

Siswa SD yang sejak awal menyaksikan percekcokan kami tampak menggeleng-gelengkan kepala, menatap saya prihatin. Sementara penumpang lainnya kembali sibuk dengan gadget dan obrolan masing-masing.

'Kena kepala, g*blok!'

Seumur-umur, belum pernah rasanya saya digoblok-goblokin orang. Lu sape?? Ngasih makan enggak beliin jajan kagak, berani goblok-goblokin anak orang? Ya Allah.. ada ya perempuan macam gini? Apa dia nggak punya anak? Apa dia nggak punya adik? Apa dia nggak punya saudara perempuan?

Asli, saya prihatin dengan takdir saya sore itu. Tapi saya jauh lebih prihatin menyaksikan anak SD yang prihatin atas kemunduran mental dan kemiskinan adab orang dewasa akhir-akhir ini. 


--

"Orang yang marah itu," kata seorang ustadz suatu hari, "marahnya diibaratkan sampah bau yang sedang ia tebar. Adalah pilihan kita mau menerima (mengakui sampahnya; ikut marah dan tersinggung) atau menolak sampahnya."

"Jika kita memilih menolaknya, maka seyogyanya sampah itu, bau busuk itu, tidak kembali selain kepada pemiliknya."



**

Epilog

"Kiri..!" nadanya masih terdengar kesal.

Loh, doi juga turun di sini? Dalam peristiwa ini, kayanya dia lebih banyak salah sih. Tapi kok saya yang merasa nggak enak ya? Gimana kalau kita harus nunggu angkot bareng lagi?

Saya kira drama takdir buruk sore itu sudah berakhir meski tanpa ucapan maaf yang saya pun tidak terlalu harapkan. Ternyata tidak. Angkot biru yang kami tumpangi menepi dengan mulus. Ia memegangi erat tas merah maroon di pangkuannya. Saya pun bersiap-siap menenteng tas ketika firasat buruk itu tiba-tiba muncul lagi.    

Ada yang bisa nebak apa manuver terakhir yang doi lakukan ke saya? πŸ˜‚πŸ˜‚ 

Kalau benar, saya kasih hadiah tempelan kulkas dari Turki. Jawab di kolom komentar aja ;)! 








Comments

Anonymous said…
Nutup pintu angkot
Sr014_Trisna said…
Kakaak.. asli aku KANGEN banget, bingung mau ngehubungin kakak lewat mana ;( chat dong..
Anonymous said…
PenasaranπŸ˜‚
eRna eRuna said…
Skrg udah nggak bingung ya Tris..ningg. Suruh jawab malah curhat ini 😌

Popular posts from this blog

Hati-hati dengan (kriteria) Pria Turki !

Perempuan Indonesia di Mata Laki-laki Turki

Lelaki Turki

Cari Jodoh Orang Turki?

Tanya Jawab Seputar Beasiswa Turki