Belajar Memahami Kamu
Hmm.. jadi ceritanya dalam dua bulan terakhir ini habis baca dua buku yang qadarullah dua-duanya berhubungan dengan ilmu psikologi. Yummy!
Buku apa sajakah itu? Satunya novel *tetep* Bulan Nararya karya Sinta Yudisia (btw buku ini keren banget, baca juga ya kalau sempet) dan satu lagi STIFIn Personality-nya Farid Poniman (ini juga nggak kalah kece).
Sebenernya dari dulu saya suka sih baca-baca buku dengan genre semacam ini. Cuma.. makin kesini,
Kenapa ya? Apa karena mempelajari psikologi berarti mengenali fitrah diri sebagai manusia, makanya jadi terasa mengasyikkan? Atau karena tebakan psikologi cenderung benar? *eh
Yang jelas, apapun alasannya, membaca buku memang selalu sukses membuat teko otak kita penuh ilmu. Kalau pun susah penuh, ya paling nggak keisi dikit-dikit lah. Jadi kalau tekonya bocor atau luap yang keluar ilmu, bukan emosi.
Isi bukunya saya nggak hapal semua sih, tapi dari Personalitree-nya Kang Zein misalnya, minimal saya jadi tahu kalau orang lagi berbohong itu matanya selalu menerawang ke kanan; means otaknya lagi berimajinasi, mengarang-ngarang jawaban. Sebaliknya, kalau lagi ditanya dan dia memberi jawaban sambil matanya nerawang kiri, berarti dia lagi mengingat fakta, tidak sedang berbohong. Mau bukti? Coba bayangin apa warna handuk yang kamu gantung di pintu kamar mandi? Fokus matanya kemana hayo ๐?
Lanjut, dari buku Men Are from Mars and Women are from Venus dan Why Men Don't Listen and Women Can't Read Map saya jadi tahu:
1. Kenapa bapak, adik-kakak saya dan kebanyakan laki-laki diluar sana nggak peka ๐,
2. Kenapa bapak susah banget nyari kaos kaki dari laci lemari padahal letaknya depan mata,
3. Kenapa saya selalu nyasar padahal arah utara-selatan segitu jelasnya di peta,
4. Kenapa laki-laki gengsi banget nanya arah, padahal udah jelas-jelas nyasar ๐,
5. Kenapa emak-emak di dunia ini cerewetnya luar biasa, termasuk.. urusan pertanyaan
6. Kenapa jatuh talak itu haknya ada pada laki-laki dan bukan wanita ๐ถ; sedikit banyak jadi paham.
Sekali lagi, saya tidak hapal semua isinya, tapi paling nggak, karena baca dua buku di atas saya jadi tahu bagaimana cara men-treatment curhatan dari makhluk beda planet ini:
Kalau bapak atau si adik lagi curhat, berarti saya harus siap dengan solusi. Sebaliknya, kalau si mamah yang curhat, saya harus siap dengan kuping, kurangi komentar, dan manggut iya-iya-in biar cepet. Oh, plus sekotak tisunya jangan lupa ๐ .
MashaAllah ya manusia-manusia ini. Laki-laki solution-oriented, perempuan plong-oriented. Haha.
Bagi yang belum tahu rumus ini, boleh nanti dipraktekin ya. Walaupun dalam kondisi tertentu posisinya bisa jadi berbeda, terutama bagi kaum hawa yang banyak galaunya. Jadi misal kalau temen perempuan ada yang mau curhat biasanya saya tanya dulu;
'kamu mau saya dengerin (curhatan kamu) sebagai laki-laki (artinya saya harus siap dengan solusi atas masalah dia)
atau
sebagai perempuan (artinya saya harus siap jadi 'tempat sampah' untuk menampung unek-uneknya; no interupsi apalagi sok-sok nasihatin)?
Meskipun terkesan ribet, tapi percayalah, cara ini efektif lho *smirk.
Terus, dari Bulan Nararya kamu belajar apa, Er?
Nah kalau dari buku yang menceritakan tentang kelainan mental skizofrenia ini, saya jadi tahu trik para presenter bikin artis tamu yang biasanya kuat tegar jadi termehek-mehek aka nangis bombay. Penasaran? Cari bukunya ya. Hehe.
Kabar baik (tambahan) sekaligus buruknya dari membaca novel ini adalah, sekarang saya jadi tahu kalau ternyata teman satu lab di Turki benar menderita kelainan Obsessive Compulsion Disorder (OCD) syndrome akut. Itu loh perasaan selalu was-was atau parno; ngecek sesuatu berulang-ulang (seperti autoklaf udah dimatikan belum ya? Keran air udah ditutup kan? Pintu dan jendela? Bahan kimia udah masuk lemari semua kan? dst) diluar batas kewajaran. Hmm.. kasian juga ya.
Terus STIFIn itu gimana?
Hmm.. kalau dari buku Pakde Poniman, saya belajar menemukan 'karpet merah' bakat saya ๐. Kalau buku dan novel sebelumnya lebih banyak mengupas tentang the real personality dalam interaksi interpersonal, STIFIn (Sensing, Thinking, Intuiting, Feeling, Insting) ini lebih fokus memetakan potensi bakat dasar sesuai kepribadian yang kita miliki. Intinya, biar nggak nyasar milih jurusan atau salah menentukan profesi.
Guess what? According to the book, I'm such an Intuiting (I) person! Cocok jadi pengusaha dan penulis katanya ceu.. ๐. Sesuatu banget ya.
Kamu, masuk tipe apa ๐?
Untungnya belajar tentang psikologi, selain ilmu yang secuil-secuil seperti yang saya contohkan di atas tadi, kita juga bisa mengurangi level stres lho.. serius.
Ketika kita memahami kenapa manusia begini kenapa manusia begitu, kita akan cenderung lebih moderat, negotiable, tidak mudah men-judge dan lebih bijak. Jauh di atas itu.., kita menyadari bahwa manusia memang makhluk yang tidak pernah dan tidak bisa sempurna. Jadi, saat masalah muncul, karena kita sudah paham bahwa tabiat manusia (laki-laki dan perempuan dengan kekhususannya) itu berbeda, maka kita akan lebih fokus pada penyelesaian masalahnya, bukan orangnya. Konsen pada jalan tengahnya, bukan cara 'nyikut' temennya ๐. Paham maksud saya?
Intinya begitu deh.
Jadi kesimpulannya, kalau ada diantara kamu (saya nggak ikutan ) yang suka main
**
Bogor, 07.01.18
Pengamat Kehidupan
Comments