REFLEKSI AKHIR TAHUN #2017: Lakukan yang penting, ambil yang esensi


Di tengah gempuran dentum petasan dan kembang api--yang ajaibnya momen ini tak pernah saya alami selama tinggal di Turki--dengan sepenuh hati saya tuliskan #refleksiakhirtahun ini.

Kalau boleh mengintip catatan diary, sebenarnya banyaaak sekali yang ingin saya tuliskan. Menumpahkan penat, unek-unek dan celotehan yang mungkin kalau nggak dikeluarkan bakal bikin muka jerawatan nggak karuan. Atau paling tidak, cukup membuat saya stres berat dan menyesal nggak banyak nulis blog dalam beberapa bulan terakhir. Jadi,  sebagai jalan tengah dan excuse diri, better saya tuliskan 'tamparan2' pelajaran hidup yang saya alami satu tahun ke belakang. Mudah2an, bisa berguna. Jadi bahan renungan dan pelajaran untuk kawan-kawan semua, terkhusus saya pribadi tentunya :).


1. It will never be the last.
    Adalah kalimat pertama yang terlintas terakhir kali saya menatap sampul paspor di bandara Istanbul. 'I promise myself, this would not be my last flight.' Janji itu, yang merasuk ke dalam sanubari, mengalir dalam nadi, benar-benar dari mata turun ke hati. Itulah kenapa sampai detik ini saya nggak pernah merasa sedih alay Bombay karena memang yakin bahwa suatu hari nanti, momen terbang itu akan kembali saya alami. Sombong? Saya hanya satu diantara milyaran umat Muhammad yang percaya bahwa pertolongan Allah itu dekat. Dan hey, Allah itu sesuai dengan prasangka hamba-Nya, bukan :)?
Ke Turki lagi, Er? Kemana aja takdir membawa.
Tapi sejujurnya saya ingin ke Eropa. Haha.


2. Too much complaining distracts you away from reality.
    Kalau yang ini, sepenggal kalimat yang saya tuliskan di buku diary suatu siang sepulang dari Turki *sok misterius*.

"Too much complaining will distract you away from reality, existing life and love,   gratitude and self-consciousness that you have so many things to take care of."

Pasalnya bisa bersyair di siang bolong? Sangat sederhana; lagi ngelap kaca jendela kamar yang tebel debunya.. masyaAllah. Waktu itu pas lagi galau-galaunya: udah lulus mau ngapain? Kalau kerja, kerja apa? Mau nikah, nikah sama siapa? Mau lanjut beasiswa, belum boleh sama si mamah. Pengen liburan dan istirahat, tapi bosen kurang aktivitas: bangun, makan, tidur, bangun, makan, tidur. Alhasil? Stres, uring-uringan nggak jelas karena merasa tidak punya kegiatan. Guya.. nggak ada kerjaan?! Padahal ketika iseng ngambil lap dan mulai beres-beres kamar ternyata sadar bahwa..

I DO HAVE SO MANY THINGS TO BE DONE!

Kurang aktivitas apa, Er? Anak-anak sekitar rumah banyak yang gabisa ngaji dan butuh diajarin ngaji.
Anak sekolahan banyak yang mau ujian di sekolahnya dan mereka pasti dengan senang hati mau dikasih bimbel gratis.
Itu kamu bisa bahasa Turki, bisa kan menawarkan diri untuk ngasih muatan lokal bahasa di sekolah almamater?
Berapa tahun kamu nggak menetap di Bandung dan nggak ketemu sama kerabat dan kawan? Bisa kan diagendakan silaturrahim giliran?
Berapa jilid bahan tulisan kamu simpan di laptop? Bisa kan ditulis, kirim ke media atau bikin buku sekalian?
Dan ini, debu tebal-tebal begini apa artinya?

Maka adalah benar tutur Al Banna, al waajibatu aktsaru minal auqaat.. kewajiban kita (sungguh jauh) lebih banyak dari waktu yang kita miliki.
Stop complaining just do something.


3. Akar kebahagiaan: bermanfaat bagi orang lain.
    Bahagia itu sesederhana dapat ucapan 'terima kasih' dari mamah yang dipijitin setelah capek kerja seharian. Sesimpel dapat pujian 'masakannya enak, Teh' dari si bungsu yang biasanya jajan di luar. Seindah dapat ciuman dari nenek-nenek yang kita bantuin nyebrang jalan. Atau sekedar dapat senyuman dari penumpang di angkot karena kita bersedia menggeser posisi duduk untuknya. Bukan apresiasinya yang ingin saya garisbawahi tapi.. perasaan bahwa 'ternyata biar jelek/bokek/pendek/bodoh begini, saya bisa loh bermanfaat untuk orang lain. Kebahagiaan atas kesadaran bahwa saya berguna hidup di dunia ini. Means, I have a reason to live, to stay alive. Karena ada makhluk lain yang ternyata memerlukan kehadiran saya di dunia ini. Iya toh? Tidakkah perasaan itu menyenangkan?

Hakikat tertinggi seorang manusia adalah ketika ia dipandang begitu berguna/ bermanfaat orang lain.

Maka adalah tidak berlebihan kalau Rasul (salallahu 'alayhi wasallam) bersabda bahwa sebaik-baik manusia adalah mereka yang paling bermanfaat bagi orang lain.

Ah, coba aja JongHyun oppa tau resep ini, pasti doi mikir sejuta kali untuk bunuh diri ya? *eh


4. Lakukan jika butuh, tinggalkan jika hanya 'ingin'.
    Manusia itu lumbungnya nafsu. Siapapun, dari zaman apapun. Dan nafsu itu sendiri sifatnya tidak terbatas; kecuali kita sendiri yang membatasinya.

Adakah kita pernah bertanya, dalam hadist Rasul tentang bab makan, mengapa bunyinya harus: 'makanlah KETIKA LAPAR dan berhentilah SEBELUM KENYANG?'

dan bukan

'makanlah SEBELUM LAPAR dan berhentilah KETIKA KENYANG?'

karena makan ketika lapar adalah kebutuhan, sedangkan makan setelah lewatnya fase lapar itu tidak lagi sebuah kebutuhan tapi keinginan. Nafsu. Dan kebanyakan nafsu datangnya dari syaitoon.

Nah, di satu tahun belakang ini, saya belajar (dan akan terus belajar) untuk membedakan serta memilih mana KEBUTUHAN dan mana KEINGINAN. Kalau saya butuh, saya lakukan. Jika tidak ya tinggalkan.
Pakem ini juga saya berlakukan untuk orang-orang diluar sistem pribadi (keluarga, teman, rekan bisnis, kenalan) ketika mereka meminta bantuan atau menginginkan sesuatu dari saya. Saat si X meminta sesuatu, saya lihat *terawang mungkin ya* kira-kira dia ini minta karena butuh atau sekedar ingin.
Jika ternyata hanya nafsu (menurut asumsi pribadi dengan parameter kacamata sendiri).. Sorry, I can't :). Maybe not me, but the others.  


5. Lakukan yang esensi, ambil yang penting
    Nasihat yang ini kurang lebih kaya: makan daging kelapanya, jangan kunyah batoknya. Atau.. beli barangnya, jangan bayar merk-nya.

OoL'ers pernah dengar istilah #KONMARI? Itu loh teknik beberes rumah ala Jepang dari Marie Kondo yang lagi happening ituh? Nggak tau juga? Gugling ya :P.

Satu tahun ini, saya juga belajar tentang bagaimana memandang sesuatu dengan konsep isi dan cangkang. Baju itu adalah isi, merk adalah cangkangnya. Nasi bungkus itu isi, kemasan Styrofoam atau kotak kardus cangkangnya. Menuntut ilmu adalah isi, almamater cangkangnya. Tidur adalah isi, kasur kapuk dan springbed hanyalah cangkang. Resolusi dan muhasabah akhir tahun adalah isi, kembang api dan petasan hanyalah cangkang, kawan! Bukan sebaliknya.

 #iklan: ini gemes banget denger kembang api darderdor di atap kosan. Arrggghhhhh....! kalian dzalim syekaliii T_T

Kita sering kali terjebak dalam hal-hal tidak penting begini, kan? *baca sambil teriak nyaingin suara kembang api* Memandang semua persoalan hidup dengan filosofi terbalik. Cangkang dianggap isi, isi dibilang cangkang! Duh duh duh.. semoga saya dan Oolers yang baca tulisan ini nggak termasuk orang yang salah jalan bedain isi dan cangkang ya.

Mengejar dunia itu kaya' mengejar bayangan sendiri; nggak akan ada habisnya kecuali saat kita mati. Kiamat makin dekat, Er. Kamu dan kita semua udah hidup di penghujung zaman. Perzinahan makin marak, LGBT makin meningkat (duh mak!), belum lagi pemimpin bangsa yang banyak khianat.

Hasbiyallahu laa ilaaha illa huwa 'alayhi tawakkaltu wahuwa rabbul 'arsyil adzim..  






6. Peer jihad menanti di bumi Syam
    Bagian ini, untuk sebagian orang mungkin terkesan lebay (it's ok, I am fine :)), tapi bagi saya ini nyata senyata-nyatanya. Kemunduran wilayah Palestina, tercabik-cabiknya negeri Syiria, berbagai manuver dan kelakar negara adikuasa, pendiskreditan (lebih jauh lagi penghinanistaan ulama), pengrusakan generasi-generasi (Islam) muda dan beragam tanda lainnya.

Carut marut kehidupan manusia #zamannow seolah menyiratkan bahwa manusia akhir zaman sudah terlalu lelah untuk hidup dan ingin segera menyudahi masanya. Ibarat film bergenre perang (jika ada) kita ini sudah masuk di ambang klimaks. Setiap pemain telah bersiap dengan posisi dan perannya masing-masing. Kalau kaum yahudi kafir bersekutu dengan Amerika dan negara lain sebagai mesiah dajjal, sudahkah kita mengambil peran sebagai pasukan anti dajjal? Diri kita, suami, istri, anak-anak, keluarga, kerabat dan sanak saudara, sudahkah dipersiapkan untuk menghadapi fitnah akhir zaman? Allahu musta'an.

Ngeri-ngeri ngeri kalau membayangkan situasi akhir zaman tuh. Makanya (maaf kalau lebay lagi) saya pikir nggak berlebihan kalau kita juga harus perlahan tapi pasti mulai mengubah orientasi dan cara hidup di dunia ini.

Andai boleh jujur, saya juga ingin menerapkan moto 'berusahalah seolah kamu akan hidup seribu tahun lagi..' tapi itu hanya ilusi. Berusah boleh, bermimpi tinggi sah-sah saja. Tapi hidup realistis juga perlu, wajib.

Kalau dalam hitungan Rasulullah dunia ini akan berakhir kurang dari 1500 tahun hitungan hijriyah, lantas buat apa saya bersusah payah mengkalkulasi hidup seribu tahun? Apalagi sampai menghitung-hitung bakal aset tujuh generasi ke depan yang pasti hartanya pun nggak dibawa mati. Ogah!                

Yang pasti-pasti aja lah: amal, anak shalih/ah, shadaqah jariyah. Sisanya? Fana pasti. Halu!.

Maka adalah juga tidak berlebihan kalau calon emak-emak seperti saya, tiba-tiba mengubah orientasi keduniaan dengan cara yang berbeda, utamanya sejak tahun #2017 resmi berakhir. Bedanya bagaimana?

Jika dalam tulisan-tulisan blog terdahulu saya terkesan super idealis memandang pendidikan bagi wanita (harus banget jadi dosen, profesor lulusan luar atau peneliti bertitel tinggi yang akan banyak berkiprah di luar rumah tentunya), sekarang ego itu mulai saya kurangi.

Kalau dulu saya kerap berpikir untuk menyekolahkan (calon) anak-anak di sekolah-sekolah formal atau sekolah negeri yang bagus, sekarang panggilan homeschooling mulai saya pertimbangkan. Apalagi mengingat boarding school pun tak lepas dari kasus LGBT dan kejahatan kaum pedofil!
 
Bila awalnya saya tertarik untuk sekolah tinggi-tinggi kemudian berkarir keren di luar (dengan pertimbangan ingin lebih bermanfaat bagi orang banyak), maka sekarang saya mulai menimang untuk mendedikasikan ilmu yang-katanya-tinggi-itu untuk membesarkan anak-anak di rumah.

Bukan, bukan saya nggak mau berbagi ilmu dengan orang luar. Bukan tidak mau mengamalkan ilmu yang diperoleh jauh-jauh dan bersusah payah. Bukan saya nggak takut dicap aneh-aneh sama tetangga karena sekolah lalu kemudian berakhir di rumah. Saya takut, khawatir, dan mungkin tidak siap untuk semua kondisi itu. Tapi, saya lebih takut lagi kalau anak-anak kelak tidak tumbuh menjadi seperti apa yang ayah dan ibunya inginkan. Tidak menjadi anak-anak seperti yang Allah dan Rasul-Nya amanahkan kalau tumbuh kembang mereka tidak sepenuhnya dalam pengawasan kami sebagai orangtua dan terutama saya sebagai ibunya.

Dalam hal ini, saya akan lebih bangga menjadi ibu yang sukses mendidik anak-anak menjadi pembebas negeri Syam daripada menjadi ibu yang sukses di luar tapi berantakan di dalam *iykwim.

Kembali ke poin nomor 5, bisa jadi semua hal dalam list rencana hidup kita adalah penting. Tapi setiap kepentingan pun memiliki skala prioritasnya masing-masing. Bagi saya, anak-anak adalah prioritas penting, tapi bagi kawan-kawan mungkin tidak demikian. Gapapa, karena hidup adalah pilihan. Teringat nasihat seorang kawan, "Dalam hidup ini kita bebas memilih, tapi kita tidak bebas memilih konsekuensi dari pilihan yang telah kita pilih." 


Selamat merayakan tahun baru dalam makna :)


Bogor, 31.12.17
Pengamat kehidupan


Comments

Popular posts from this blog

Hati-hati dengan (kriteria) Pria Turki !

Perempuan Indonesia di Mata Laki-laki Turki

Lelaki Turki

MashaAllah ala Turki vs Indonesia

Cari Jodoh Orang Turki?