Kenapa Perlu Banget Kuliah di Luar Negeri? (1): When the world is no longer scary


Kalau moto Asma Nadia adalah satu buku sebelum mati, maka mantra "minimal study abroad sekali seumur hidup!" mesti banget jadi moto pemburu ilmu. Apapun bentuknya! Kuliah reguler S1, master, PhD, post doktora, internship, pelatihan, student exchange, dll. Intinya, keluar negeri dengan tujuan belajar, bukan semata jalan-jalan. Mmh.. Minimal 2-3 bulan gitu lah ya, nggak harus lama-lama. Asal cukup untuk mempelajari seluk-beluk kehidupan mereka, melihat budaya dan kebiasaan, kehidupan sosial dan perilaku masyarakat, to learn what's right and wrongs menurut norma yang ada, untuk belajar berempati dan saling menghargai, saling terbuka aka open minded, bertemu dengan muslim dari negara lain, kawan dan saudara baru, networking, dst. Plis, alasannya standar banget deh, Er πŸ˜‘.

Neyse ya.. sejuta satu alasan (yang lebih keren) bisa kamu buat sendiri kalau mau. Hehe. Tapi berhubung ini tulisan saya, dan terserah saya, jadi bahasan kali ini juga akan dibuat semau saya. Hihi. Well.. dari sekian poin yang telah disebutkan di atas, alasan pertama (yang lainnya nyusul inshaAllah) yang akan saya jabarkan tentang kenapa kamu perlu banget kuliah di luar negeri adalah..

      BRO-THER-HOOD.





Ey adamin cocuklar.. Git! Dunyayi gez ve butun dunya senin olsun!
(Hai anak adam.. pergilah! jelajahi dunia maka dunia ini milikmu!)


Temen2 pernah dengar salah satu pepatah sakti Imam Syafi'i? "Merantaulah, maka akan kau temukan pengganti saudara dan kawan."

Coba dibaca sekali lagi.

"Merantaulah, maka akan kau temukan pengganti saudara dan kawan."

Nah dengan kuliah di luar negeri, kamu akan menyadari betul kalau kalimat di atas bukan sekedar isapan kosong belaka. Tapi nyata! Ada. Tampak begitu jelas di depan mata.

Beberapa waktu lalu, seorang teman satu angkatan YTB telah kembali pulang ke Afganistan. Dia telah menyelesaikan tesisnya. Berselang dua hari kemudian, saya butuh sekali bertanya tentang banyak hal seputar persiapan sidang tesis. Maka saya WhatsApp lah beliau.

Merasa penjelasan melalui pesan tertulis mungkin kurang mantap atau mungkin beliau takut saya nggak ngerti, dia pun call WhatsApp. Saya merasa agak janggal disitu. Kaget tapi sekaligus senang juga sih. Hehe. Amazed lah intinya. Ada sekitar 20 menit kami saling mengobrol banyak hal melalui kotak kecil bernama handphone ini. Dan ajaibnya, berkomunikasi seperti itu membuat saya merasa seolah si teman masih berada di asrama. Di lantai bawah kamar paling ujung no 8. Persis kaya ngobrol ketika saya hanya perlu bantuan beliau untuk uji orlep seafood atau sekadar say hi karena seminggu nggak ketemu. MashaAllah.. seperti mimpi rasanya!

Saya di Turki, masih di asrama, blok, kamar dan ranjang yang sama sementara lawan ngobrol saya di Afganistan! Di Kabul tepatnya! Kalian tahu kota Kabul? Pembaca karya Khosseini pasti punya kenangan khusus tentang kota yang satu ini. Dan kalian tahu? Adalah novelnya Khosseini juga yang membuat saya akhirnya lebih dekat kawan yang satu ini. Yang membuat dia cerita panjang lebar tentang pemberontakan Taliban berpuluh tahun silam di negaranya. Tentang lelucon masa kecilnya yang tertawa-tawa saat dentuman roket dan suara tembakan menghiasi langit rumah dan sekolahnya. Tentang patung budha besar yang pernah dihancurkan di masa gerakan kemerdekaan. Tentang mesjid indah mereka di tengah kota, semuanya! Benar-benar ajaib. Dan entah kenapa saya selalu merasa bahwa dia adalah sebentuk buku berjalan ketika mengobrol dengannya.

Dan sore hari itu, obrolan kami seolah tanpa jarak. Dengan teknologi semuanya menjadi mungkin. Tapi dengan persaudaraan semuanya jadi jauh lebih mungkin. Hiks. So from now on, maybe I can proudly say that, I have a sister in Afganistan. A very best sister. Dan jika suatu hari Allah gariskan saya untuk berkunjung ke sana, inshaAllah saya nggak bingung harus menghubungi siapa.

Itu baru satu orang. Belum teman Afgan yang lain. Belum kawan asing lain dari negara-negara lain. Negara yang mungkin namanya saja baru kita kenal ketika berkenalan dengan mereka. Negara yang bisa jadi letaknya pun baru kita pelajari baru-baru ini. Bahkan negara yang mungkin tidak -atau luput- tercantum dari peta. Uganda, Benin, Orta Afrika, Madagaskar, Mesir, Saudi Arabia, Irak, Yaman, Brazil, Spanyol, Kolombia, Pakistan, India, Filipina, Vietnam, Mauritius, Zimbabwe, Gambia, Albania, Macedonia, Romania, Libanon, Palestina, Kazakistan, Korea, Mali, Nigeria, Ghana! Kebayang nggak sih? Zaman SMA saya nggak inget pernah hapal nama-nama negara asing sebanyak ini. Tapi sekarang? Dengan bangga saya ingin katakan bahwa saya punya teman terbaik dari negara-negara ini πŸ˜‚πŸ˜‚. MashaAllah.. Itu masih luar Turki, belum orang-orang dari dalam Turki sendiri. Izmir, Manisa, Istanbul, Ankara, Trabzon, Konya, Mersin, dst. Alhamdulillah 'ala kulli hal. Berkah merantau, berkah persaudaraan.

Mau dengar juga kisah pertemanan dari Uganda yang kalau saya ngobrol dengan dia seolah bertebaran huruf 'b' dan 'g' dimana-mana? Atau pertemanan saya dengan si cantik Romania yang akhirnya berislam setelah kuliah di Turki? Atau pertemanan saya dengan si unik dari Mauritius yang kalau nyanyi di kamar mandi suaranya bisa bangunin anjing penjaga asrama? Atau siap mendengarkan fakta2 mengenaskan seorang kawan yang keluarganya tinggal di jalur Gaza, mungkin :)? Ah sudahlah. Nggak akan habis sehari semalam nanti baca tulisan saya. Hihi.

With friend, traveling will be no longer fearful. If you ask me what tools can transform fearness into bravery and hatred into love, or the difference between fearful and fearless? The answer must be 'friends' :).  


Bagi saya, dapat saudara baru ini adalah alasan superior dari merantau. Turki aja udah berasa jadi rumah kedua sekarang. Dan ketika pun saya melafalkan nama-nama negara yang disebut di atas tadi, ada kebahagiaan tersendiri yang muncul ketika menyebutkannya. Kebahagiaan akan fakta bahwa saya punya saudara di sana. Kebahagiaan akan keyakinan bahwa saya tidak perlu takut untuk berkunjung ke negara mereka, yang mana pada akhirnya itu semua membuat saya semakin percaya bahwa; dunia ini tidak terlalu luas ataupun terlalu jauh untuk dijelajahi :). Neden? Cunku her yer evin olsun, butun dunya da artik senin olsun! (Why? Because every places is your home, and whole world also 'belongs' to you!).
Bukan dalam arti menjajah atau dalam rangka menguasai ya, tapi pengertian bahwa selalu ada tempat yang akan menyambutmu dengan tangan terbuka. Siapa mereka? te-man! ;).

And bro-ther-hood is one of the very reason WHY I've and will never ever regret to study in Turkey (or any other country), to study abroad; despite of any difficulties, despite of any bitterness and homesickness :).

Alhamdulillah.. Alhamdulillah.. Alhamdulillah 'ala kulli hal.

Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan (Al Mulk:15).



Jadi, sudah siapkah merantau?


Comments

Popular posts from this blog

Hati-hati dengan (kriteria) Pria Turki !

Perempuan Indonesia di Mata Laki-laki Turki

Lelaki Turki

Cari Jodoh Orang Turki?

Tanya Jawab Seputar Beasiswa Turki