Ini Hijab Pertamaku, Kamu? (3): Jilbab Kenangan


Sebentar lagi angkot yang kutumpangi akan berhenti di depan gang rumah. Tapi aneh sekali, baru semenit saja rasanya sudah berpuluh-puluh jam. Aku mulai tidak betah duduk disini. Bukan karena jatah tempat duduk sempit yang memang harus formasi 7-5 tetapi karena dua orang ibu yang baru saja naik di persimpangan jalan tadi yang membuatku risau.

"Assalamu'alaykum Ibu.." sapaku akhirnya. Memutuskan untuk mengawali percapakan meski tak ingin. Tadinya aku akan berpura-pura tidak mengenal mereka kalau saja tidak teringat nasihat sindiran dari Bu Nunung dulu.

'Ibu tuh suka heran ya sama alumni-alumni, kakak-kakak kelas kalian. Kalau ketemu di jalan gak pernah nyapa sama guru. Suka pura-pura gak kenal. Padahal walaupun gak ingat nama, kami kenal wajah kalian.
Kucium kedua tangan ibu guru yang pernah mengajarku sewaktu SD dulu, Bu Nunung dan Bu Julaiha. Sesaat mereka tampak bingung memperhatikan siswi-SMP-tak-dikenal yang tiba-tiba menarik tangan mereka dan menciuminya.

"Mirna, Bu." kataku sigap, menjawab pertanyaan yang bahkan belum sempat dilontarkan. Keduanya mengamatiku jeli, dari ujung rambut sampai ujung kaki. Sudah kuduga, pasti begini reaksinya.

"Eh, sebentar sebentar, ini Mirna anak kelasnya bu Sagi bukan ya?" tanya bu Julaiha kemudian. Masih dengan nada menelisik. Antara yakin dan tidak. Kujawab dengan anggukan pelan.

"Ooh iya Mirna ya.. Iya iya. Sekarang ingat. Dari tadi itu mikir ini anak mirip siapaa ya.. Pernah lihat tapi dimana. Sekolah di SMP mana sekarang?" tanyanya antusias. Menggeser tubuh mungilnya ke depan,  mendekat ke arahku. Bu Nunung juga tampak mengubah posisi duduknya. 

"Di 34 Bu, di Waas." Kusunggingkan sedikit senyum antara canggung dan ragu yang akhirnya mungkin malah terlihat aneh bagi mereka.

"Duh Mirna, Ibu pangling pisan, ih."  seru Bu Nunung. Meletakkan kedua tangannya di pahaku.

"Hampir gak kenal. Dulu kan Mirna pakai jilbab soalnya. Ini Bu Eha juga sekarang pakai, Alhamdulillah." tambahnya, menyikut Bu Eha.  

Sedari tadi kuamati memang. Jilbab segitiga berwarna merah tampak menempel patuh di kepala Bu Eha. Meski sedikit kurang pas tapi terlihat rapi. Hiasan bros beringin emas dekat bahu menambah manis jilbab yang dikenakannya. Entahlah, rasanya bahagiaa sekali melihat Bu Eha yang dulu tidak berjilbab dan sekarang memutuskan untuk mengenakannya. 

"Nah, tapi sekarang kenapa malah Mirna yang gak pakai jilbab?"

Deg!.

Pertanyaan yang kutakutkan dari tadi akhirnya keluar juga. Aku menggaruk kepala yang tidak gatal. Tidak yakin mau menjawab apa.
Kenapa ya? Hmmm.. Udah males aja sih mungkin. Lagian masih kecil ini. Toh sepupuku yang di SMP Semar* juga gak pakai jilbab gak apa-apa. Tapi masa iya aku bilang ke bu guru kalau gak mau pakai jilbab lagi karena males? Alhasil hanya segurat senyum kaku yang menjadi jawaban atas pertanyaan mereka.

"Padahal dulu udah bagus pakai jilbab. Ya Bu Eha ya?" Bu Julaiha mengangguk mengiyakan. "Meri dan Ica juga sekarang berjilbab lho." 

Butuh beberapa detik bagiku untuk menemukan daftar nama yang disebut Bu Nunung barusan. Seperti ada sengatan listrik yang menyetrum tiba-tiba mendengar kata Meri, Ica dan jilbab. Hah? maksudnya Ica si kecil? Meri si anak mamih yang suka beringus panjang, kan? Yang suka iri kalau aku dapat ranking satu di kelas itu? Anak-anak kayak mereka sekarang berjilbab. Masa sih?

Pikiranku tetiba kalut rasanya. Tidak terima atas sesuatu--yang entah apa. Ku-kiri-kan pak sopir. Menyodorkan dua lembar uang lima ratusan. Beranjak turun dari angkot tanpa mengucapkan banyak kata selain salam kepada Bu Nunung dan Bu Eha.

Mereka berjilbab, kenapa kamu malah lepas, Mirna? 

***


*Semar: Sebelas Maret


Comments

Popular posts from this blog

Hati-hati dengan (kriteria) Pria Turki !

Perempuan Indonesia di Mata Laki-laki Turki

MashaAllah ala Turki vs Indonesia

Lelaki Turki

Belajar Memahami Kamu