Ini Hijab Pertamaku, Kamu? (1): Jilbab kuntilanak
Sudah hampir dua minggu sejak kepindahan kami sekeluarga ke Kota Kembang. Selamat datang untuk lingkungan, keluarga, tetangga, teman sepermainan dan tentu saja sekolah baru. Mulai hari Senin nanti aku akan resmi menjadi murid kelas 4 di SDN Sukajaya. Sementara si bungsu, Diwan, akan bertemu dengan kawan barunya di kelas 2. Ayah yang memasukkan kami di sekolah ini. Meski letaknya agak jauh tapi kurikulumnya lebih bagus, tutur beliau saat adikku merengek minta sekolah di SDN Sukacipta yang hanya berjarak 200 meter dari rumah. Kami ber-fuh pelan, tidak puas mendengar jawaban sore itu. Beda sekali dengan si sulung, A Erlan, yang tampak senang-senang saja dengan keputusan ayah untuk menyekolahkannya di SMP swasta sebelah supermarket besar sana. Aku tahu, kakakku adalah orang yang sangat jenius. Tidak sulit baginya diterima di sekolah negeri terbaik kota ini. Tapi karena keterlambatan pendaftaran, jadilah kami harus rela melihat Einstein keluarga Koswara berakhir di kampus listrik--karena sekolah juga bersebrangan dengan kantor PLN.
Sejujurnya, banyak hal yang menggelayuti pikiranku sejak kedatangan pertama kami di Bandung. Mungkinkah aku akan kerasan tinggal di kota yang notabene adalah tempat kelahiranku sendiri? Kendati pun lahir dan dibesarkan hingga usia 4 atau 5, namun kehidupan sosial kami lebih banyak dibentuk di kampung nenek. Bukan disini. Teman-teman desa boleh berpikir tentang betapa enaknya hidup kota. Tapi bagiku, andai boleh memilih, aku ingin terus berada di desa saja.
*
"Mah, Teteh pake baju apa besok?" keluhku di malam keesokan hari pertama sekolah. Memonyongkan bibir ke arah baju merah putih yang tergantung di pintu lemari.
"Kok tanya pakai apa. Ya seragam atuh, Teh. Itu udah Mamah setrika dan gantung di lemari." teriak mamah dari arah dapur. Diikuti dengan bunyi meja dihantam. Entah mencoba resep kue apa lagi malam-malam begini. Sejak pindah kemari, bisnis jajanan kecil sudah mulai jadi teman akrabnya. Sibuk setiap hari.
Kusambar busana yang sedari tadi mengganggu pandangan. Membawanya ke hadapan mamah.
"Teteh juga tahu kalau sekolah itu harus pake seragam, Mah. Tapi masa begini? Terus pake kerudung?" Tanganku menunjuk sana-sini. Merujuk bagian siku dan lutut. Mengernyit, menunggu tanggapan ibu yang asik menggiling adonan.
"Mmh.. begini apanya? Bagus. Pan biasanya di kampung juga begitu." jawabnya singkat. Tidak mengerti dengan maksud pertanyaanku.
"Ih.. Mamah. Masa pake jilbab bajunya pendek? Kan aneh! Di desa sih gak apa-apa, tapi kalau di Bandung? Malu atuh sama orang kota." gerutuku gemas. Yang ditanya malah tertawa.
"Euleuh-euleuh.. anak gadis Pak Andang. Udah tahu malu rupanya. Udah gede berarti Teteh teh ya?" Aku mendelik sebal. Untung duo makar, A Erlan dan Diwan, ikut bapak nonton wayang. Kalau saja ada di rumah, habis sudah aku jadi bahan bulan-bulanan mereka juga.
Melihatku masih berdiri kesal, beliau bangkit dari duduknya. Menepis putih tepung dari rok. Mengatur bergo dengan punggung tangan. Kemudian menatapku lamat-lamat. Sebaris senyum tersurat di wajahnya.
"Teh.." intonasi suaranya menurun, lembut. Dipegang bahuku pelan.
"Teteh anak Mamah yang solihah, kan?" Aku tak bergeming. Menatap lurus tembok yang kehitaman penuh jelaga.
Ia tersenyum sekali lagi. Perlahan membungkukkan badan dan membisikkan sesuatu di telingaku.
"............................."
Demi mendengar itu mataku membulat bersinar. Senang bukan kepalang. Mau terbang ke angkasa rasanya. Kutatap haru perempuan di hadapanku sebelum memeluknya erat. I love you, Mah, Bapak. Kalian yang terbaik.
*
Hatiku sudah mantap. Sampai waktunya tiba, kau yang akan menemaniku ke sekolah, merah putih. Sekali lagi kupatut diri di depan cermin lemari. Memastikan semuanya terpasang sempurna. Miring kiri, kanan, berdiri tegak, senyum. Sudah cantik, saatnya sarapan, Mirna.
"Gimana nonton wayangnya? Rame?" kutarik kursi kayu bulat dari bawah meja. Sengaja mengambil posisi dekat jendela. Mamah tampak sibuk menghitung kue hasil kreasinya tadi malam. Jajanan akan ditawarkan ke warung depan gang, jika tak salah ingat percakapan beliau dengan Wa Oo beberapa waktu lalu. Sementara Bapak, aku tak melihatnya. Mungkin sedang melakukan sesuatu di halaman belakang-- mengasah pisau atau menyiapkan kusen.
"Beuhh.. bukan rame lagi. Rame pisan." Diwan yang pertama menjawab pertanyaanku pagi itu. Mendadak menghentikan ritual memisahkan putih telur dari kuningnya. Oh ya? Aku menatap tak percaya. Agak menyesal tidak menerima ajakan bapak tadi malam.
"Apalagi pas Mang Uep datang misahin orang berantem. Seru deh pokoknya!" Tambahnya lagi menggebu-gebu. Kali ini aku melipat dahi. Bingung.
"Ditanya timur, jawabnya barat." sergah A Erlan, menggeleng kepala ringan.
"Maksudnya si Teteh, pertunjukan wayangnya seru enggak? Bukan jalan acaranya. Makanya, makan telor yang banyak biar pinter. Biar cepet nyambung kalau ditanya." Tambahnya lagi. Diwan tertawa kikuk. Menggaruk kepala yang tidak gatal. Sementara aku terpingkal geli menyadari kesalahpahaman jawaban si bungsu.
"Sudah.. sudah.. Ayo segera habiskan sarapannya. Jangan merusak hari pertama sekolah dengan datang terlambat." suara Bapak menengahi. Tampak sudah siap dengan peralatan tempurnya. Pagi ini beliau akan mem-plitur beberapa buah jendela pesanan Pak Haji Arifin.
Benar kata bapak. Ini adalah momen spesial pertama kami sebagai orang-kota-baru. Sebagai murid sekolah modern idaman kawan-kawan di desa. Siapapun dari kami, tidak boleh ada yang terlambat.
*
Jalanan dan gang sekitar rumah riuh ramai. Semarak dengan seragam warna-warni dengan dominan merah. Aroma tas dan sepatu baru tercium di mana-mana. Anak-anak seusiaku berkejaran berlomba siapa paling cepat sampai sekolah. Siswa perempuan tampak centil pamer jepitan baru atau tas barbie merah mudanya. Beberapa siswa di sudut lain bergerombol menyebrang jalan sambil takut-takut. Ada juga yang berlari-lari menghindari injakan pajak sepatu baru dari kawannya. Tahun ajaran baru telah tiba.
Kami berpisah dengan A Erlan di dekat warung Pak Ace. Ia harus menaiki angkot oranye ke arah sebalikan. Aku dan Diwan memutuskan untuk menunggu angkot kami tak jauh dari sana.
"Hiyy, kayak kuntilanak! Serem!" celetuk seorang gadis berseragam putih abu yang beberapa saat lalu berdiri tak jauh dariku. Kuamati sekeliling. Tidak ada siapa-siapa selain kami bertiga. Anak-anak SD Sukacipta telah berhambur sejak tadi. Adikku sedang asik menghanyutkan daun-daun kering di kanal depan warung. Terus kunti-nya dimana?
"Hiyy..!" Dia bergidik sekali lagi. Wajahnya menunjukkan ekspresi ngeri bercampur geli memperhatikan busanaku dari atas ke bawah. Rambut keritingnya yang mengembang terurai panjang hingga menutupi badge di saku seragam. Lagi, aku hanya celingukan polos melihat tingkahnya, heran. Seraya meneliti sekitar, memastikan dimana letak sang hantu sebenarnya. Hampir saja kuseru Diwan untuk membantu mencari sosok mba kunti saat kusadari bahwa yang ia maksud adalah aku!
Lah.. Pakai jilbab kok malah dibilang mirip kuntilanak?
Kutatap sebal perempuan berambut gondrong di samping. Kali ini gantian aku yang bergidik ngeri.
Jadi yang mirip kunti sebenarnya siapa?
***
Comments