MISI #1 Air wajahmu adalah budimu
“Kenapa? Marah?
Kalau tidak suka dan tidak ikhlas, tinggalkan saja!” katanya dengan sedikit
nada membentak.
Sudah
dua jam
lalu adzan ashar berkumandang. Sebentar lagi ayah dan si sulung akan
pulang
kerja sementara dua anak lainnya akan pulang dari pengajian. Rendaman
baju sejak satu
atau dua hari lalu tampaknya telah lelah menanti untuk dicuci. Sebaskom
piring
kotor pun masih tertegun sendu di pojokan sumur. Asap perih yang
memedihkan
mata mengepul riang dari tungku perapian seolah tak peduli dengan mata
yang bercucuran karena kehadirannya. Sesekali terdengar bunyi tiupan
songsong* dari arah dapur, dengan polosnya turut memeriahkan kegelisahan
sore
itu. Bu Mulya tampak sibuk bolak-balik dapur dengan sendok sayur plastik
berwarna merah menggantung di tangan kanannya sementara tangan kirinya
berusaha
menahan si bungsu yang hampir terlepas dari gendongan.
Reina
masih terpaku di mulut dapur. Memegangi mangkok plastik biru berisi toge yang
akarnya tak kunjung selesai untuk dipetik. Perasaan kesal dan merasa bersalah
mengaduk-aduk hatinya. Rahangnya semakin menegang sementara matanya tertuju
kaku menatap ubin tanah.
“enggak! Siapa
yang marah?”sahutnya singkat. Berusaha menutupi kekesalan yang membuncah namun
tidak berhasil. Baskom biru dipegangnya semakin erat. Kesal. Andai saja bisa, ingin sekali rasanya ia melemparkan baskom itu ke tungku.
Bu Mulya tersenyum tipis mendengar jawaban putri keduanya ini. Tangan kanannya berusaha
keras meraih wajan yang tergantung dekat pintu dapur, meski sebenarnya Reina
bisa mengambilkannya dengan lebih mudah.
“Sudah tidak
usah bohong.. Ibu tahu kamu kesal.” timpalnya. Jawaban yang singkat tapi dalam bagi Reina.
Deg!
Bagaimana ibu
tahu kalau aku kesal? Sepersekian detik Bu Mulya merasakan Reina menoleh kepadanya.
“Ibu ini ibu
kamu, Re. Yang namanya budi (perasaan), itu tercermin dari wajah.” Tambahnya
kemudian, seolah tahu apa yang Reina pikirkan.
Reina hanya terdiam,
lunglai sementara Bu Mulya mengambil baskom toge darinya dan berlalu ke dapur. Benar apa
yang dikatakan Ibunya. Ia kesal dan marah tadi. Tapi kali ini ia lebih kesal pada perasaan
dan gengsinya sendiri.
Haruskah kau
kesal hanya karena semangkok toge, Re? sesalnya.
***
Comments