Mahar 35 Jt?


..35 juta rupiah dibayar tunai!"


.
.
.
.
.
.
.
.

Sah?

Alhamdulillaah


Bukan mahar, kok. Tenang ya. Kamu masih punya kesempatan *apadeh.

Yang di atas itu akad bayar hutang dari seorang klien yang.. subhanallah, nagihnya butuh kesabaran dan pengertian. 

Kok perlu pengertian segala? Bayar hutang ya bayar aja kali? Iya, soalnya kita sama-sama saling membutuhkan.
Alhamdulillaah ada rezekinya temen-temen..

Kerja di sini itu emang banyaaaak banget saya belajarnya.

Belajar psikologi manusia iya, memahami karakter karyawan iya, ngulik angka-angka yang bikin mata keriting iya, sampai ngurusin preman-yang-entah-datang-darimana  yang maen malak seenaknya aja, juga iya.

Susah sih. Capek sih. Greget gemes pengen nguwel-nguwel juga sih, kadang. Tapi kok .. seru gitu ya ngadepinnya. Haha. I enjoyed it so much somehow. Makin susah, makin seru. Makin ditantang makin ingin mengejar. 

Saya masih inget waktu serombongan laki-laki (kalau nggak boleh dibilang preman) usia 25-40 menyambangi tempat kami sore itu.

"Bu, ada rombongan yang mau ketemu langsung sama ibu katanya. Mereka udah di bawah. Gimana nih?"
Ada getar tak biasa dari suara di seberang telepon. Panik.

Tapi anehnya, untuk tiga detik pertama saya menyungging senyum yang entah kenapa. 

"Suruh masuk aja, Ti. Tolong arahkan ke ruang pengurus ya. Dalam lima menit saya kesana."

Saya tahu sih ini isinya 'permainan', tapi nggak tau kenapa saya ingin hadir aja. Pengin tahu, apa maunya mereka. Pengin liat seberapa jauh mereka 'minta' dan seberapa besar tekad dan 'nekat' yang mereka punya. 

"Teh, yakin mau masuk?" Cicit Mia di balik meja. Badannya yang besar seolah menciut seketika. 

"Gapapa.. Doain ya." Pinta saya, diiringi anggukan pasrah dari Mia.

Asti memegang hendel pintu gundah, menatap saya gelisah. Kalau diizinkan, mungkin dia akan menyarankan kami kabur saja. Pura-pura tidak ada di kantor, misalnya. Atau sakit tiba-tiba. Tapi dia tahu betul bahwa harapannya adalah kemustahilan yang nyata. 

Lima wajah asing terduduk rapi, setidaknya mengikuti urutan kursi di ruangan. 

Satu pendek kecil pakai iket sunda, batu akik besar-besar terpasang mentereng di jemari kanan kirinya, berwarna-warni. Satu berbadan besar, berpakaian serba hitam lengkap dengan topinya, berlagak perlente dengan wajah yang disangar-sangar, gelang berwarna silver cukup besar terpasang di bagian kiri lengan. Kontras dengan seorang lainnya yang berperawakan tinggi kurus, bermata sayu dan dalam, lemah lunglai. Belakangan diketahui bahwa dirinya dan si perlente adalah adik kakak.

Satu lainnya bertubuh kecil, dengan rambut tipis panjang dikuncir. Bibir dan gigi kecil-kecil tak beraturan yang menghitam pertanda lelah dicecap jelaga tembakau. Sementara satu yang terakhir, diterka dari usia dan raut wajahnya, mungkin dia anak bawang rombongan, memakai vest hitam dengan logo pers dan polisi di dada kiri dan kanan. 

Oke fix. Lima preman pria melawan tiga wanita perkasa. Fair enough, tho. *Jangan ketawa!

"Baik, sebelumnya saya ucapkan selamat datang di perusahaan kami. Perkenalkan saya Erna, penanggung jawab utama di kantor ini. Saya dengar bapak-bapak ingin bertemu dengan saya, betul?" Jeda 2 detik. Selingi senyum 3 senti. Tatap selintas 1-1 di mata. 

"Boleh saya tahu bantuan seperti apa yang bisa kami berikan untuk bapak-bapak?" Senyum 2 senti kiri, 2 senti kanan, miringkan badan ke depan dengan dua jurus isyarat tangan. 

1 jam pertama,
.
.
1 jam kedua,
.
.
And there you're done!

--

"Ibu... Kenapa ibu beliin mereka bakso tahu sih! Kan Asti kesel! Preman kok dikasih makan?
Pokoknya Asti nggak mau bayar!"

Saya menatap Indah yang bergeming di samping Asti, heran. 

"Ndah, tadi pesenannya difaktur ke PT kan ya?" Yang ditanya mengangguk pendek. 

Lah terus ni anak kenapa?

Saya sempat minta tolong Indah untuk pesankan makan siang memang, berhubung Asti sibuk telpon sana-sini nanya rujukan. 

Emang salah ngasih mereka makan? Preman sih preman tapi kan mereka juga punya perut. Makanya datang mau malak berarti kan nggak punya uang. Udah 'proyek'nya gagal, masa iya pulang bawa perut lapar? 

"Pokoknya Asti nggak mau bayar.. sebellll...!"

"Ya udah, kalau gitu nanti saya yang ba--

"Enggak.. itu lebih nggak boleh lagi!"

"Bu Er.. itu orang jahat datang ke sini ya, mau meres, Bu. Mau jahatin kita. Kenapa malah dibaikin? Dibeliin makan siang pula?
Terus mau ibu bayarin juga gitu?
Hatimu digadai dimana sih, Bu Er..?
Pokoknya Asti nggak rela, Asti sebel! Asti nggak mau bayar.. Ibu juga nggak boleh bayar... 

...

"Gitu ya? Maaf ya, Ti.." 

"Iih.. Asti nggak mau ibu minta maaf.. Tapi Asti sebel, Asti gemes. Asti pengin nyubit Ibu. Boleh nggak...? πŸ˜–πŸ˜­


πŸ˜…πŸ˜…πŸ˜…


Saya baru tahu kalau orang sanguinis bisa se-mellow itu. 
Tapi saya lebih baru ngeh lagi, kalau ekspresi Asti sore itu bisa jauh lebih meng-iba-kan dari raut wajah preman yang gagal dapat setoran. 

Sabar ya Asti.. always be a blessings in disguise πŸ˜ŽπŸ˜‚. 


End. 

--

P.s:
kisah di atas hanyalah fiktif belaka, dan mengandung banyak bumbu penginderaan. Seperti biasa, santap hikmahnya, buang micinnya ;).



Comments

Popular posts from this blog

Perempuan Indonesia di Mata Laki-laki Turki

Hati-hati dengan (kriteria) Pria Turki !

MashaAllah ala Turki vs Indonesia

Wanita Turki

Cari Jodoh Orang Turki?