My Ring, My Savior


"Erna, cincinnya bagus. Cocok sekali." Seru Hoca di sela-sela bimbingan siang itu. Saya celingukan sendiri sementara alis naik turun, bingung. Cincin?

"O.. oh ini.." tukas saya kikuk begitu menyadari arah tatapan beliau. Sebuah lingkaran perak bermotif dedauan tersemat di jari tengah. Hoca menatap dengan seksama ketika saya mengangkat tangan dan merentangkan jemari kanan. Sinar matahari yang masuk melalui jendela membuat batu-batu kecil di sekelilingnya tampak menyilaukan. Jika saja ia tidak bertanya, saya sendiri tidak ingat telah memakainya tadi sebelum berangkat ke kampus.

"It fits you well," tambahnya lagi seraya menyungging senyum, tulus.

"Tesekkur ederim."

Saya sedang akan kembali ke tempat duduk di sebrang meja ketika beliau bertanya tentang alasan saya memakainya. Maklum saja, di Turki, memakai cincin bagi seorang perempuan bukanlah perihal sepele. Ia memberikan arti mendalam. Berbeda dengan Indonesia yang siapapun bisa memakai cincin kapan saja dimana saja tanpa memusingkan maknanya. Dan seingat beliau saya belum menikah ataupun bertunangan dan sejenisnya. Jadi wajar jika hoca bertanya-tanya.

"Mmh.. ini jimat Hoca, pelindung." Jawab saya sambil terkekeh.

Hari ini saya berencana mencari beberapa mesin sederhana untuk penelitian di bilangan Halkapinar. Berjalan sendirian di area yang sama sekali asing tentu bukanlah gagasan yang bagus. Apalagi mengingat bahwa daerah itu konon berisi lebih banyak pekerja laki-laki daripada perempuan. Dan.. dan lagi pula saya tidak ingin kejadian seperti tempo hari di Basmane terulang lagi. Jangan sampai.

"Penangkal dari orang-orang aneh." Tambah saya lagi saat menyadari bahwa Hoca masih mengernyitkan alisnya.

"Lelaki asing yang suka tanya-tanya 'Punya pacar enggak? Masih single atau sudah nikah'? Asalnya dari mana? Ayo kita nge-cay* sebentar dll,'" Papar saya panjang yang diikuti raut wajah enggan percaya.
Air muka hoca yang tadinya heran tiba-tiba berubah menjadi serius. Saya tidak tahu apa yang akan dikatakan beliau setelah itu, tapi firasat ini menangkap sinyal-sinyal keganasan tak terdefinisi.

"Erna?" Saya mendongak. Memperhatikan isyarat mata Hoca yang sulit ditebak. Menunggu.

"Kalau setelah ini ada orang yang berani macam-macam," tegasnya, membuat saya bergidik ngeri, "bilang sama mereka 'iya, saya sudah menikah. Suami saya di Turki. Kerja di kampus sebagai Hoca!' Ngapain kamu tanya-tanya?'"
Saya mengerjap-ngejap, seriously?.
Haruskah sedemikian?
Belum sempat menanggapi,

"Oh tidak.. tidak.. jangan itu," sergahnya mengoreksi, "katakan 'Saya sudah menikah, suami saya di sini dan dia polisi!'" 
Kali ini mata saya melebar tak percaya. Untuk beberapa detik pertama saya ragu apakah perempuan berambut coklat dan bergelombang ini benar-benar pembimbing tesis yang saya kenal? Dan.. apa Hoca bilang tadi? Polisi?

"Anlastik mi**, Erna?" Tanyanya membuyarkan lamunan. "Bekar mekar deme! 'Evliyim' der! Polis!***" Tambahnya lagi. Sementara saya menyeringai lirih. Saya tidak sepenuhnya mengerti maksud Hoca. Tapi satu hal yang pasti, saya tidak punya pilihan selain mengangguk mengiyakan.

Tapi kenapa harus polisi? Mungkinkah karena itu profesi terbaik di Turki?
"Agar terkesan lebih menakutkan," tukasnya, seolah bisa membaca pikiran bimbingan satu-satunya ini. Demi apapun, rasanya saya bisa pingsan kaku saat itu juga. Oh.. Hocam. 

--

Selepas bimbingan

"Oiya, Erna?"
Saya menoleh ke arah meja kerja beliau dari balik bahu, masih memegang gagang pintu.
"Pasang cincinmu di jari manis, jangan di tengah."

Saya melirik jemari cepat.
"Eh? Oh.. Emh." Pengelabuan yang gagal.

Erna.. Erna.. -___-"

# # #


*teh
**Mengerti?
***Jangan bilang single, katakan 'saya sudah menikah'! Polisi!

Comments

Popular posts from this blog

Hati-hati dengan (kriteria) Pria Turki !

Perempuan Indonesia di Mata Laki-laki Turki

MashaAllah ala Turki vs Indonesia

Lelaki Turki

Cari Jodoh Orang Turki?