Posts

Showing posts from September, 2015

Ulasan Buku: Ayah

Ada yang sudah baca karya teranyar dari novelis kondang Andrea Hirata? Yup, AYAH judulnya. Buku ke sekian dari bang Andrea ini, sebagaimana judulnya, berkisah tentang sosok Sabari (tokoh utama) yang atas kehendak takdir tak terduga ditunjuk sebagai seorang bapak oleh dirinya sendiri. Nah loh! Bingung kan? Insyafi. Sabari. Tamati. Teguhi. Jujuri. Kemasi. Tabahi. Abu Meong. Lesung pipit sedalam sumur bor kantor polisi lama.. . . Itulah kata-kata ajaib yang berhasil menyihir saya untuk terus melahap buku sampai akhir. Di awal bagian, Bang Andrea menyuguhkan kelucuan demi kelucuan kisah persahabatan Sabari-Ukun-Tamat yang membuat hilang penat dan menguap kantuk. Sampai sakit perut ini. Terpingkal membayangkan laku kocak trio Belitong. Apalagi dibumbui dengan seabrek kerumitan perjuangan cinta Sabari untuk Marlena. Lengkap sudah.  Isinya cuma lucu-lucuan aja? Ya enggak dong. Setiap cerita mesti ada klimaks yang bikin sebal, greget, sedih, haru, dll. Pun dengan roman seteba

Menulis, Sarana Terapi Hati

Ada yang lagi kesal, seperti saya malam ini? Atau sakit hati, kaya saya tiga hari lalu? Atau justru sedang berbunga-bunga? Semoga saja opsi terakhir ini yang sedang kalian alami, ya. Hehe.. Cukup saya aja yang sebel u.u Kesal sama diri sendiri. Untung masih punya lapak pribadi ini. Lumayan buat nampung orat-oret hati daripada berceceran sembarangan. Tul nggak? Ya, beginilah cara efektif menangani 'urusan perasaan'. Bagi saya, menulis adalah sarana terapi hati . Kenapa? Karena dengan kebiasaan yang satu ini, saya cenderung lebih banyak merenung. Eits , bukan stres loh ya. Tapi merenung dalam arti menata kembali posisi hati, pikiran dan tentu saja emosi.   Dulu, dulu sekali, setiap kali kesal atau marah sama seseorang, saya bakal cerita panjang lebar ke ibu. Aku kesal sama si X, dia nyebelin, sikapnya gak bisa diterima, pokoknya dia yang salah, blablabla lalala dan nanana. Atau pas lagi sedih misalnya, teman-teman dekat sudah otomatis akan jadi korban aneka keluhan say

I Love You

Ich liebe dich. Je t'aime. Aishiteru. Saranghaeyo. Seni seviyorum. Aku mencintaimu. Iya, kamu :)! Sungguh, aku cinta karena Allah.. -- Pernah gak sih, ngalamin satu titik dimana kamu pengeeeennnn banget jadi seperti seseorang? Persis tepat sama seperti dia. Rambutnya, wajah, gigi, postur tubuh, tinggi badan, rumah, motor, harta, cara jalan, gaya bicara, pembawaan, semua deh! Dan, saat perasaan 'ingin seperti doi' itu muncul, kamu lantas merasa bahwa 'gue gak ada apa-apanya :( ' alias serba gak cukup. Kayanya kurang mancung hidungnya, Alisnya ketebelan nih, Yah aku kurang tinggi.., Rambutku kok gak sebagus punya dia ya? Gaya ngomong gue kenapa aneh begini ya? Kok kurang sih? Kenapa ya?    Ujung-ujungnya, kamu akan mulai minder dan merasa gak PeDe, gak bisa berbuat apa-apa, tidak layak dan pantas untuk berkarya, lemah dan tidak berdaya, merasa gak akan ada orang yang suka apalagi jatuh cinta, merasa bahwa hidup ini gak adil buat kamu!!. Gak

Ini Hijab Pertamaku, Kamu? (4): Kerudung Monyet

Sepagian hujan deras mengguyur kampus kami. Menyisakan genangan air lebar-lebar sepanjang jalan yang tidak terasapal rata. Ya, butiran air langit ini bukan hal baru memang. Toh karena kondisi inilah Bogor mendapat julukan kota hujan. Gelar yang tidak hanya isapan jempol belaka. Kurang dari dua puluh menit kelas kuliah pertama siang ini akan dimulai. Sepertinya kami akan terlambat. Tapi apa boleh buat? Membuka payung di tengah terpaan hujan yang disertai angin kencang sama artinya dengan bunuh diri. Payung terbang, sampai kelas belum tentu, basah kuyup iya. Aku dan Ata mempercepat langkah menerobos jalan pintas melewati Fakultas Kehutanan. Entah apa pasal, bagiku gedung-gedung di sekitar sini selalu saja menyeramkan. Terlebih dalam suasana gelap langit yang mendung. Aku bergidik pelan. Menutupkan tudung jaket berwarna hijau. Tetesan bulir air dari ujung daun-daun bambu rupanya telah membasahi rambutku. Perkiraan kami benar. Kelas besar yang disusun bak ruang sidang dengan kursi be

Teteh Gak Suka Teh

Sepertinya saya gak cocok tinggal di Turki. Indikatornya? Dari tiga hari terakhir simposium yang saya ikuti, saya belum pernah minum teh (Turki: cay) sama sekali sekali. Setiap jam sarapan (welcome tea), coffee break termasuk makan siang. Lah? penting banget ya? Kadang saya suka bertanya sendiri, segitu gak sukanya kah saya dengan teh? Saat peserta lain di sekeliling saya sibuk hilir mudik dengan cangkir teh atau kopinya, saya hanya melenggang santai dengan air mineral. Diantara deretan kudapan dan aneka minuman yang berjejer di meja panjang itu, mata saya hanya akan tertuju pada satu sisi di sudut. Mencari sesuatu dengan kemasan berwarna biru muda, air mineral.   "Erna, kok aku belum pernah liat kamu minum teh ya?" Mmmh.. Perbandingan Fatuma sih, maniak semua jenis minuman termasuk cay. Tiada pagi tanpa teh, tiada malam tanpa minuman Uganda-nya. "Cay icmiyor musun Erna? Niye??" [Kamu gak minum teh Erna? Kenapa??]. Pertanyaan Hoca yang satu ini selalu ku