TTA (bagian #1)



Aaah! Keterlaluan sekali mereka!. Kalau kata A Rafiq dalam lagunya: 'sungguh kau tak pandai menimbang rasa..!'


Malam itu kudapati ibu teremenung sendu di pojokan dapur. Bukan. Bukan sendu atas kebandelan kayu bakar semi basah yang tak kunjung terbakar di tungku. Tak pantas juga merenungi harga sembako yang memang semakin menggila akhir-akhir ini. Apa mau dibuat? Harga naik gak naik, tetap saja.. susah.

Kutarik kursi kayu kecil dekat gentong air. Mengusap debu tak tampak satu dua kali, sekedarnya. Duduk sedekat mungkin dengan tungku, dekat ibu. 

 "Kenapa lagi, Bu?"

Ekspresi itu sudah berulang kali kulihat. Beban super berat seolah sedang menggelayuti pipinya yang sudah mulai keriput dan kempot disana-sini. Muram. Beberapa kali hanya terdengar desahan nafas berat diantara gemeretuk bunyi ranting yang mulai terbakar. Sesekali beliau tersenyum getir, untuk dirinya sendiri.

"Ibu salah ya? heh.." sekali lagi senyumnya tersungging. Pandangannya tak beralih sesenti pun dari tungku. 

Pertanyaan itu... ulah apa lagi sih yang dibuat si nenek-nenek lampir sampai-sampai Ibu jadi begini? Kukira cerita menyedihkan sekaligus mengesalkan tentang ipar yang tak suka pada iparnya hanya ada di sinetron saja. Ternyata drama kehidupan nyata jauh lebih menyedihkan.
      
"Ibu tidak mengerti. Ibu ini sudah terlalu tua untuk melayani tingkah saudara-saudara ayahmu, Re.." hening sesaat. Aku menarik nafas panjang. Butuh beberapa detik sebelum akhirnya aku angkat bicara. Lagi. Satu hal yang mungkin sebaiknya tidak pernah kulakukan.  

"Sudah lah Bu.. Rere kan sudah berulang kali bilang gak usah terlalu memikirkan mereka. Toh belum tentu juga mereka peduli sama perasaan Ibu kan?" Aku bisa merasakan intonasi meninggi di kalimat terakhir yang kuucapkan. Rasanya darah ini ikut mendidih juga saat itu. Saking kesalnya.

"Lantas Ibu harus berpura-pura tuli? Begitukah?"

"Menjadi miskin itu hina, Re.. hin-.." suaranya tercekat. Dipukulnya dadanya berkali-kali. Berusaha menahan air yang terbendung di sudut mata. Tapi apa daya?

Kukepalkan tangan keras-keras di saku jaket. Ya Allah.. Sesak. Sesak sekali rasanya. Haruskah buliran bening itu mengalir deras di pipinya?

***
  

   

Comments

Popular posts from this blog

Hati-hati dengan (kriteria) Pria Turki !

Perempuan Indonesia di Mata Laki-laki Turki

MashaAllah ala Turki vs Indonesia

Lelaki Turki

Tanya Jawab Seputar Beasiswa Turki